JAKARTA, IN.ID | Penangkapan Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ahmad Zain An Najah oleh Densus 88 Mabes Polri atas dugaan tindak pidana terorisme menggambarkan dan mengonfirmasi bahwa intoleransi, radikalisme dan terorisme telah menyusup secara sistemik ke berbagai institusi sosial, keagamaan.
Hal ini disampaikan Hendardi Ketua SETARA Institute, Kamis (18/11/2021) di Jakarta kepada awak media. Bahkan katanya, institusi pemerintahan dan BUMN juga sudah terpapar dan tersusupi.
“MUI yang seharusnya menjadi jangkar moderatisme Islam, kembali lalai seperti di masa sebelumnya, dengan membiarkan orang seperti An Najah menjadi bagian dari struktur MUI. Bahkan pada Komisi Fatwa, suatu Komisi yang selama ini memproduksi fatwa-fatwa keagamaan,” ujar Hendardi menyayangkan.
Menurut Hendardi, sebelumnya melalui sejumlah aktor dalam MUI, organisasi keagamaan ini telah menjadi booster yang efektif bagi menguatnya intoleransi di Indonesia.
“Fatwa-fatwa atas berbagai aliran dan pandangan keagamaan, serta peristiwa tertentu yang dengan simplistis dianggap sebagai penodaan agama. Dimana telah melegitimasi praktik intoleransi, diskriminasi dan persekusi terhadap warga negara dan kelompok-kelompok keagamaan tertentu,” terangnya.
Lanjutnya, sekalipun dalam perspektif MUI fatwa-fatwa tersebut, bagian dari tugas dakwah. Akan tetapi kata Hendardi, MUI tidak pernah menghitung secara seksama risiko dan dampak yang ditimbulkan dari fatwa terhadap kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
“Penangkapan An Najah, harus menjadi momentum koreksi serius bagi MUI untuk melakukan upaya-upaya ekstra memastikan kelembagaan MUI tidak menjadi instrumen promosi intoleransi. Bukan hanya MUI di tingkat Pusat, MUI di berbagai tingkatan juga mesti berbenah,” ulasnya.
SETARA Institute mengapresiasi, Densus 88 Mabes Polri yang bertindak melakukan pemberantasan terorisme, sekalipun mereka berlindung di balik organisasi keagamaan. Narasi Islamphobia yang dihembuskan di balik setiap upaya negara memberantas terorisme adalah bagian dari counter attack, yang sengaja dihembuskan untuk memperlemah kinerja pemberantasan terorisme.
“Sepanjang bukti permulaan telah cukup, maka tindakan penegakan hukum atas tindakan terorisme sahih untuk dilakukan. Prinsip due process of law harus terus menjadi pedoman Densus 88. Sehingga upaya pemberantasan terorisme tidak dianggap sebagai tindakan politik negara melemahkan kelompok-kelompok tertentu,” tegas Hendardi.
SETARA Institute terus mengingatkan, bahwa terorisme adalah puncak dari intoleransi. Karena itu terhadap segala bibit intoleransi, negara dan elemen masyarakat harus terus melakukan intervensi dengan berbagai resep yang proporsional. Apa yang dilakukan negara, melalui Kementerian Agama RI, dengan mempromosikan moderasi beragama adalah bagian dari upaya mengatasi problem hulu dari terorisme.
“Sementara itu elemen masyarakat sipil juga harus melakukan hal yang sama, dengan mempromosikan kehidupan yang lebih toleran,” pungkas Hendardi yang dikenal advokat HAM dan Demokrasi ini. (Rud/Red)