ARTIKEL | IndependentNews.id | Bermula dari sebuah peristiwa alam, dimana setiap manusia pasti akan kehilangan, andai bukan Tuhan yang akan mengambilnya, tangan manusia yang akan merenggutnya.
Dua hukum Tuhan yang tersurat dalam takdir kehidupan pasti terjadi adanya, sebab dalam hidup ini tidak ada yang abadi, tidak ada yang kekal begitulah hukum alam yang Tuhan suratkan pada setiap hambanya.
Kepergian dengan cara meninggalkan atau dengan Tuhan mengembalikan keharibaanNya, suatu ketika pasti terjadi.
Peristiwa itu pasti akan terjadi siap ataupun tidak siap, oleh karenanya sebagai hamba yang baik maka harus siap serta ikhlas akan kepergian.
Sekian bulan berlalu pertiwa kepergian seorang hamba yang Tuhan cintai keharibaanNya, meninggalkan duka yang mendalam, seorang suami yang begitu bertanggung jawab harus kembali kesisi pencipta Nya.
Duka itu menyelimuti hati dan anak anaknya, hari berlalu dengan kehampaan, hanya ditemani anaknya yang belum dewasa hidup dilalui dengan air mata pada setiap mengenang kepergian suaminya.
Cinta dan ketulusan yang dibangun bertahun, sirna bersama pemakaman suaminya, goresan luka akan kesendiriannya terus berjuang untuk menapaki sisa hidupnya, dengan memikul kewajiban yang belum berakhir.
Diman atas kepergian suami tercintanya, ada anak laki laki yang harus dibesarkan dan didik untuk mencapai cita cita, yang diharapkan.
Belum persoalan lain, yang harus dihadapi setelah sepeninggal suaminya, kendatipun tak sedikit harta benda yang ditinggalkan Hasil kerja bareng sama hidup suaminya.
Namun semua bukan ukuran baginya, karena takdir yang dijalani menyisahkan persoalan yang membebani fikirannya, walau semua itu bisa dilaluinya.
Hari berlalu bulan pun berlalu, satu persatu persoalan hidup dapat dilalui dengan doa dan kesabaran.
Namun beberapa waktu lalu, peristiwa yang mengejutkan perasaannya terjadi, tanpa kata, tanpa rencana takdir Tuhan kembali terjadi, membuat gores hati yang mulai mengering, seakan mengangah, saat terjadi keputusan harus memilih kebahagiaan orang tua dan kebagian dirinya.
Dimana harus menelan ludah kekecewaan karena tak mampu untuk memilih satu diantara dua, yang menjebak hidupnya.
Bila memilih kebahagiaan dirinya, maka menyakiti kedua orang tuanya, Denga tangisan kepedihan harus pasrah atas keputusan orang tua.
Walaupun dirinya harus belajar menerima kehadiran sahabat sebagai pengganti suaminya yang telah kembali ke sisi sang penciptanya.
Halal, yang dipaksakan keluarga besarnya, dari kedua tua, kedua mertua, dan paman pamannya, membuat dirinya tak berdaya.
Harapan satu satunya, hanya jawaban anak perempuannya, bisa berbanding lurus untuk berkata ” TIDAK ” ternyata mengiyakan sejalan dengan keputusan keluarga.
Dengan dalih ” kalo ummi bahagia dan babae bahagia maka aku bahagia” jawaban itu membuatnya tak berdaya.
Apakah ini takdir Tuhan yang harus dijalani pikirnya????
” Ataukah aku harus lari, tinggalkan mereka yang telah bersepakat menjodohkan aku dengan sahabatku ”
Kata itu tak mampu membuatnya menjatuhkan pilihan, yang ada pasrah pada keputusan hingga ” HALAL ” itupun terjadi.
Pernikahan yang terjadi di ujung timur Jawa Timur, memaknya untuk belajar bagai mencintainya, sedang rasa itu masih tertanam rapat direlung hatinya.
Satu bulan sudah peristiwa ini berlalu, belajar untuk mencintai dan menerima sahabat menjadi pendamping hidupnya, akan terus belajar dan belajar.
Walau harus bergejolak antara alam fikirnya dan hatinya apakah ini takdir atau hanya sekedar menyekatakan.
Hingga satu bulan berlalu terdengar suara suara terbisikkan bahwa pernikahan ini satu untuk menyelamatkannya dari tangan tangan orang orang yang yang dianggap akan merugikan masa depannya.
Kendatipun tidak masuk nalar dan akalnya, putusan itulah telah terjadi dirinya telah menjadi istri Syah secara agama, walau harus belajar bagaiman cara mencintainya.
Walau kata maaf selalu terucap dari suaminya, bahwa dirinyalah yang bersalah, bukan orang tuamu dan keluargamu.
Oleh : Mas Ari Hidayat
Pemimpin Redaksi Independentnews.id







