BUKAN SEKEDAR RUMAH

  • Whatsapp

Mendung langit siang menjelang sore itu tampak hitam pekat menyelimuti angkasa Cibubur. Semburat aura lesu terpancar pada wajah Bu Titik. Mata sayu dan berkaca-kaca seakan simbolik bahwa air mata itu akan segera jatuh membasahi kulit lembutnya. Bu Titik duduk termenung. Ia merenungi hari-hari yang terlewati. Ada rasa khawatir, takut, dan perasaan lain yang tidak bisa ditepisnya.

Bu Titik adalah seorang perempuan paruh baya. Ia tinggal bersama dengan suaminya. Bu Titik sudah ikhlas menerima takdir bahwa dia tidak di karuniai seorang anak. Perempuan berhijab itu juga ikhlas menerima takdir saat ia divonis mengalami sakit jantung. Namun rasa yang bergejolak begitu besar membuatnya bimbang. Pergolakan batin terus menyala dalam hati Bu Titik.

Bacaan Lainnya

“Beberapa minggu lagi aku akan pasang ring jantung di rumah sakit, apa mungkin rasa yang bergejolak ini muncul karena itu. Tapi…. bukan, bukan, bukan,” batin Bu Titik terus menyangkal perasaannya sendiri.

Bu Titik merasakan suatu hal yang kurang. Seakan semua yang dianggap ‘rumah’ bagi Bu Titik belum sempurna. Padahal hidupnya tidak pernah kekurangan. Suaminya juga sangat menyayanginya. Harusnya ‘rumah’ tempat ia pulang sudah sangat istimewa. Tapi tidak dengan Bu Titik.

Suaminya hanya memandanginya dari balik kaca. Ada rasa cemas dan kasihan pada istri kesayangannya itu. Suaminya pun mencoba menghiburnya dengan obrolan-obrolan renyah dan lucu. Bu Titik hanya tersenyum tipis. Perempuan berhijab itu mengungkapkan keresahannya kepada suaminya.

Suatu pagi, suami Bu Titik menikmati teh panas kesukaannya setelah melaksanakan sholat subuh di warung depan rumah sakit di sekitar Cibubur, dimana Bu Titik menjalani pengecekan jelang pemasangan ring jantung. Di warung itu suami Bu Titik bertemu dengan bapak-bapak sebaya dengannya. Mereka pun mengobrol tampak asyik.

Bapak itu bernama Pak Eddy Karsito. Laki-laki sederhana dengan perannya yang luar biasa. Pak Eddy adalah salah satu pengurus Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan di kawasan Cibubur dan Kranggan. Sebuah Yayasan yang mempunyai misi memanusiakan manusia dengan berbagai cara.

Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan adalah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pelayanan sosial, pendidikan dan kegiatan seni budaya. Menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal dan non formal secara gratis, serta menyalurkan bantuan sosial dan santunan.

Yayasan yang didirikan oleh sejumlah seniman, budayawan, wartawan, pendidik dan pemerhati sosial pada tahun 1995 telah menyelenggarakan berbagai kajian sosial, seni dan budaya melalui berbagai kegiatan berbentuk seminar, workshop, diskusi, seni pertunjukan, pelatihan jurnalistik pelatihan seni peran hingga pelatihan sinematografi.

“Kami bergerak dengan menyantuni pemulung, memberikan makan gratis untuk pemulung, menghibur pemulung dengan tontonan yang melibatkan para pemulung bahkan membantu memulasarakan jenazah pemulung hingga memfasilitasi jenazah pemulung mendapatkan tempat pemakaman terhormat. Waktu kami akan memakamkan salah satu jenazah pemulung semua tempat menolak menerimanya karena pemulung tidak mempunyai KTP. Kami akhirnya berbicara lewat media, akhirnya ada orang yang tersentuh dan sanggup menyediakan ambulan dan pemakaman. Dan lucunya pemulung yang tertolak di mana-mana itu malah mendapat fasilitas penguburan elite di Memoriam Park Cibitung,” ucap Pak Eddy panjang lebar.

Suami Bu Titik sangat tersentuh. Semenjak saat itu, ia mengajak Bu Titik menjadi relawan di Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan. Bu Titik sangat senang, ia merasakan hal yang berbeda setelah diajak menjadi Relawan di Yayasan Humaniora. Beberapa kali berkesempatan mengikuti kegiatan dan terlibat menyantuni warga menderita.

Bu Titik pun menjadi lebih bersemangat dan yakin akan kesembuhannya. Ia menghadapi operasi pemasangan ring jantung dengan penuh keyakinan. Operasi itu berjalan lancar namun Bu Titik masih harus menjalani perawatan beberapa hari di rumah sakit itu. Setelah keluar dari rumah sakit nanti, ia berencana meminta suaminya untuk mengantarkannya ke Yayasan Humaniora di Jakarta.

Sesampainya di sana, Bu Titik bertemu dengan pengurus yayasan. Beliau mengarahkan Bu Titik ke persinggahan salah satu pemulung. Bu Titik terkejut melihat seorang pemulung menggendong bayi dengan pakaian kumuhnya. Bayi pemulung itu terlihat begitu kurus karena tidak mau menyusu ibunya. ASI yang keluar dari ibunya hanya air yang terasa tawar karena kurangnya asupan makanan bergizi. Pemulung yang tengah menyusui itu sehari-hari hanya makan berlauk kerupuk dan kecap. Pemulung yang malang itu ditinggal pergi suaminya yang tidak bertanggung jawab. Bertubi-tubi penderitaan mendera sang ibu itu.
Bu Titik mendekatinya dan mengejaknya duduk. Bu Titik memberikan santunan kepada sang bayi. Ibu itu menangis terisak sambil mencium tangan Bu Titik.

“In shaa Allah saya akan sering datang ke sini, Teh,” ucap Bu Titik.

“Terima kasih banyak Bu, di Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan ini saya menemukan ‘rumah’ yang sesungguhnya. Meskipun saya tidak mempunyai rumah layak huni tapi bagi saya yayasan ini adalah ‘rumah mewah’ bagi saya. Berkat ibu melalui yayasan ini saya merasa mendapatkan segalanya yang berharga,” ucap Ibu Pemulung itu lirih.

Jantung Bu Titik berdetak kencang mendengar jawaban ibu itu. Bu Titik merasakan hal yang sama. Ia juga menemukan ‘rumah’ yang selama ini ia cari.
Yayasan Humaniora Rumah kemanusiaan adalah bukan sekedar rumah. Bukan hanya ‘rumah’ bagi pemulung tapi ‘rumah’ bagi orang-orang yang tergerak hatinya dalam misi kemanusiaan, menebar kebaikan. Kini Bu Titik mampu memaknai ‘rumah’ dalam kehidupan yang sesungguhnya. (BERKAH HANDAYANI/Redaksi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan