Menghidupkan Amalan NU di Tengah Kelompok Wahabi Salafi

  • Whatsapp

SEMARANG, IN.ID | Hidup di tengah-tengah kelompok Wahabi Salafi sedih rasanya. Pemandangan sehari-hari mereka seperti hidup di Jazirah Arab, tradisi dan budaya mereka seperti kearab-araban.Padahal mereka hidup di Indonesia, makan dan minum dari hasil bumi Indonesia, tapi kelompok Wahabi menolak memakai budaya Nusantara, terutama dalam hal berpakaian. Yang laki-laki pakai jubah, terkadang pakai baju koko dengan celana cingkrang, yang perempuan memakai baju panjang kedodoran bercadar.

Mereka merasa paling suci dan paling Islam dibandingkan orang Islam yang lainnya. Jarang berkomunikasi kalau ketemu yang bukan kelompoknya.

Bacaan Lainnya

Kelompok Wahabi Salafi kompak dalam berdandan dengan identitasnya dan berpakaian paling Islami ala ajaran mereka. Orang menyebutnya mereka kelompok Ci-Ca cingkrang Cadar.

Hidup mereka tertutup terhadap masyarakat lain dan jarang bergaul selain dengan jamaahnya. Baik tertutup dalam berbusana (khusus wanita), tertutup rumahnya, maupun tertutup dalam pergaulan.

Kelompok mereka sangat angkuh kalau berjalan di muka bumi. Wajahnya kurang sumringah cenderung dan tidak bisa humor.

Di kampung Wahabi Salafi nampak jadwal kajian yang begitu padat, dari pagi habis subuh, sore dan malam hari. Seakan-akan hidupnya para jamaah diatur oleh ustadnya. Mereka bekerja ala kadarnya. Waktunya sholat ya sholat lanjut kajian oleh ustad wahabi. Seringnya ustad wahabi menyampaikan kajian dengan nada yang tinggi, keras dan jamaah harus mengikuti ceramah dari ustad-ustadnya.

Pada awal adanya Wahabi Salafi di kampungku, bingung rasanya. Ini kelompok pemdatang begitu gencar dakwahnya. Pembangunan fisik masjid dan pondoknya cepat terealisasi. Jamaah begitu banyak berdatangan dari penjuru negeri ini. Sementara penduduk asli yang notabene warga NU belum bisa rutin mengadakan kegiatan ke-NU-an. Karena orang-orang Nahdlatul Ulama belumnya rutin melaksanakan amalan-amalan NU, kalaupun ada tidak rutin.

Ada pengajian yang penulis pimpin, tapi tidak semarak. Apalagi kelompok Wahabi Salafi sangat gencar mempengaruhi warga untuk ikut dalam kelompoknya. Rasanya berat mengajak jamaah agar tidak kena pengaruh ajaran wahabi. Berat banget, kalau semua kegiatan NU ditangani seorang diri dan dibantu beberapa jamaah.

Sementara kegiatan Wahabi semakin marak, pengikut atau jamaahnya pun bertambah banyak. Mereka semakin berkibar di daerah yang dulunya basis NU.

Dengan keberanian yang ekstra, kuberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah pengurus NU ranting kelurahan dan pengurus PWNU Jawa Tengah.

Penulis ceritakan semua kegelisahan memimpin sebuah pengajian di tengah gempuran pengaruh Wahabi Salafi yang semakin gencar. Penulis juga menghubungi pihak RT, RW serta pihak kelurahan perihal menjamurnya kelompok Wahabi Salafi. Tanggapannya dingin, tidak ada solusi yang jitu untuk menghalau kelompok Wahabi.

Berusaha disertai doa, penulis menitipkan jamaah pengajian Yasin Tahlil kepada salah satu pengurus PWNU Jawa Tengah, KH. Dr. Iman Fadhilah beserta Ibu Nyai Rotiyal Umroh.

Alhamdulillah niat baik untuk bergabung di rumahnya pak Iman disambut dengan baik.Jamaah bisa kegiatan ke-Nu-an dan kegiatan keislaman lainnya di rumahnya pak Iman, yaitu rumah pergerakan. Karena jamaahnya cukup banyak, rumah pergerakan tidak mampu menampung para jamaahnya melakukan sholat di rumah tersebut. Akhirnya tanah kosong di depan rumah pergerakan didirikan aula dengan nama Aula Al-Fadhilah. Nama ini diambil dari nama Dekan Fakultas Agama Islam Unwahas Semarang, yaitu KH. Dr. Iman Fadhilah, M.Si.

Untuk membangun Aula Al-Fadhilah dibutuhkan dana yang tidak sedikit dengan waktu pembangunan selama enam bulan lebih. Akhirnya Aula tersebut jadi untuk lantai satunya.

Di lantai satu inilah kami semua jamaah pengajian Yasin dan Tahlil bisa beraktiftas di aula tersebut.

Mulai dari sholat fardhu berjamaah, kajian fikih, kajian kitab karangan ulama-ulama NU, seperti Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani. Acara rutin lainnya adalah tahlilan, yasinan, baca tulis Al-quran, pengajian Jumat malam Sabtu legi yang dilaksanakan satu bulan sekali. Setiap sore ada TPQ atau Taman Pendidikan Al-Quran.

Dengan maraknya kegiatan ke-NU-an di lingkungan kami, semua merasa lega. Jamaah Yasin dan Tahlil aktif mengikuti kajian-kajian rutin yang diisi oleh Kiai Iman Fadhilah, Kiai Anjab, Ustad Faizin, Ustad Ghofur, dan masih banyak pengasuh lainnya termasuk Ibu Nyai Rotiyal Umroh dan penulis sendiri.

Dengan rutinnya kajian dan pengajian serta amalan-amalan ahlussunah wal jamaah, kami semua sudah tidak lagi ada rasa kecil berada di sarang wahabi salafi. Kami menunjukkan bahwa NU itu ada dan di Rahmati oleh Allah SWT. Kami tidak gentar lagi dengan tipu daya dan hoax yang disebarkan oleh ustad-ustad wahabi.

Kami warga Nahdliyin sudah asyik dengan rutinitas jamaah sholat fardhu, maulidan, dzikir dang ngaji ataqo (dzikir fida’), burdahan, tahlil dan yasinan serta pengajian rutin. Alhamdulillah, kami warga Nahdliyin diselamatkan oleh Allah dari pengaruh ajaran wahabi salafi.

Kami sudah tenang karena rutinitas amalan NU sudah berjalan lancar. Walau hidup di Sarang Wahabi, tapi kami tetep santrinya simbah Hasyim Asy’ari. Di bawah naungan bendera NU dan tentunya kami semua cinta NKRI.

Penulis : Nurul Azizah
Nurul Azizah, penulis “Muslimat NU di Sarang Wahabi”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan