Krisis Identitas Sebagai Peluang Munculnya Radikalisme pada Gen-Z

  • Whatsapp

GEN-Z | IndependentNews.id | Pada masa kini, krisis identitas semakin menjadi isu yang patut diprihatinkan terutama di kalangan generasi Z. Generasi ini adalah generasi yang lahir dalam rentang tahun 1997 sampai tahun 2012 (berdasarkan data sensus penduduk 2020 oleh Badan Pusat Statistik). Kehidupan generasi ini berada pada era digitalisasi dan serba mudahnya akses informasi yang tidak terbatas. Kondisi ini secara tidak langsung menyebabkan generasi Z dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui berbagai informasi, pandangan, nilai, dan ideologi yang beragam bahkan seringkali saling bertentangan. Keadaan tersebut dapat berpengaruh pada diri mereka, karena timbulnya kebingungan dan keraguan tentang jari diri mereka, fenomena ini lebih sering dikenal dengan istilah “krisis identitas”.

Krisis identitas dapat didefinisikan sebagai kondisi ketika seseorang sering mempertanyakan berbagai hal yang berkaitan dengan identitas dirinya, seperti kepercayaan, nilai hidup, tujuan atau aspirasi hidup, pengalaman, dan perasaan. Krisis identitas dapat menjadi celah masuknya paham radikalisme bagi generasi z. Menurut Dr. Azyumardi Azra, dalam kajiannya tentang pluralisme dan integrasi sosial, bahwa beliau mengkritik radikalisme sebagai gerakan yang mengancam keharmonisan sosial dengan mendorong ideologi intoleran dan eksklusif. Jika dilihat dari definisi, radikalisme adalah gerakan- gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan menggunakan jalan kekerasan (Rubaidi, 2007:33).

Bacaan Lainnya

Gen-Z tumbuh pada perkembangan teknologi yang memengaruhi internet dan media sosial menjadi bagian hidup mereka sehari-hari. Kondisi tersebut menyebabkan banyaknya informasi, hiburan, bahkan pendidikan yang mereka dapat. Namun, melimpahnya informasi yang didapat terkadang banyak pribadi yang tidak dapat memfilter sehingga membawa banyak kebingungan bagi gen-Z. Mereka terkena pemahaman berbagai nilai dan budaya, mulai gaya hidup selebritas hingga ajaran-ajaran keagamaan yang seringkali ditampilkan dalam bentuk ekstrem. Padahal ajaran tersebut bisa saja merupakan ajaran yang salah dan sesat. Keadaan ini membuat tekanan pada diri gen-Z untuk menentukan, menemukan, dan memvalidasi jati diri mereka. Jika mereka tidak dapat mengendalikan diri mereka, maka hal ini dapat memicu krisis identitas.

Pada masa krisis identitas, radikalisme kerap memberikan solusi yang terlihat jelas dan tegas. Ideologi dari radikalisme biasanya memberikan identitas yang kuat, perasaan saling memiliki dan menguatkan, serta misi yang jelas. Bagi Gen-Z yang merasa dirinya tersesat, terasing, dan lemah, bahwa janji akan ideologi tersebut sangatlah menarik. Radikalisme dapat memberikan perasaan penting dan tujuan yang kemungkinan besar tidak dapat mereka temui di paham yang lain. Kondisi ini sering kali dimanfaatkan oleh para pelaku radikalis untuk mempromosikan narasi yang memikat dan karismatik, sehingga Gen-Z dapat tertarik dan bergabung dengan mudah. Para pelaku radikalis menggunakan media sosial dan platform online lainnya untuk menyebarkan propaganda mereka dengan sasaran Gen-Z yang sedang mengalami tahap krisis identitas. Pesan-pesan yang disampaikan tersebut diiringi dengan ratorika keadilan, solidaritas, dan perubahan yang sering kali menarik bagi Gen-Z yang haus akan makna dan keadilan sosial.

Peran pendidikan dan keluarga sangatlah penting dalam upaya pencegahan paham radikalisme di kalangan Gen-Z. Pendidikan tidak hanya berperan sebagai sesuatu yang menambah pengetahuan, namun pendidikan juga berperan dalam pembentukan karakter, menumbuhkan pola pikir yang kritis, dan memupuk toleransi. Setiap jenjang pendidikan harus mengajarkan pentingnya pemikiran yang kritis, memahami kompleksitas dunia, dan pemfilteran setiap informasi dengan hati-hati. Kondisi tersebut dapat membuat Gen-Z tidak mudah terpengaruh dengan ideologi ekstrem. Selain itu, keluarga juga harus berperan aktif dalam pembentukan karakter anak-anaknya. Orang tua harus lebih memperhatikan anak dengan menjalin komunikasi yang baik, seperti membantu anak untuk menghadapi masalah anak, membantu anak untuk menemukan jati dirinya, dan mendengarkan keluh kesah anak. Orang tua juga harus memberikan bimbingan yang benar kepada anak. Jika kebiasaan ini dilaksanakan, maka akan terjalin komunikasi yang terbuka dan jujur antara orang tua dan anak. Hal ini sangat penting untuk membangun kepercayaan antara keduanya bahkan dapat mencegah anak-anak mendapatkan jawaban di tempat yang salah sehingga terpapar paham radikalisme.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa krisis identitas yang dialami oleh Gen-Z harus menjadi fokus perhatian untuk ditangani. Hal ini dikarenakan di saat krisis identitas mereka tumbuh maka akan munculnya keraguan akan diri mereka sendiri kemudian mereka akan mencari jawaban akan keraguan tersebut. Pencarian yang dilakukan mereka di era digitalisasi dapat membawa mereka terhadap pengaruh radikalisme. Kenyataan ini disebabkan, para perlaku radikalis banyak menggunakan internet sebagai media penyebaran paham mereka. Oleh karena itu, dengan pendekatan yang tepat, krisis identitas dapat dirubah dan terhindar dari ancaman paham radikalisme.
Penulis: Bromo Ar-Rosyadi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan