SURABAYA, IN.ID | Sepanjang konstruk budaya masyarakat masih membedakan peran dan posisi sosial anak laki-laki dan perempuan, sepanjang itu pula hal itu berpengaruh pada bentuk dan pola pendidikan persekolahan. Isu tersebut tidak sesuai dengan UUD NRI 1945 Bab X tentang Warga Negara, Pasal 27 Ayat (1) dimana berbunyi “setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tidak kecualinya”. Artinya, semua orang baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama di muka hukum tanpa adanya diskriminasi diantara keduanya.
Hal ini juga berlaku di dunia pendidikan, Pendidikan sudah selayaknya ramah gender artinya baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mendapatkan kesetaraan dan keadilan. Secara kodrati, laki-laki dan perempuan memang berbeda, akan tetapi makna kesetaraan di sini adalah meninggalkan stereotipe yang mendominasi jenis kelamin tertentu.
Sebagai contoh dalam hal kebebasan perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, seringkali perempuan dilemahkan atas dasar anggapan tidak butuh sekolah tentu saja sangat kontras dengan kebebasan laki-laki. Bahkan melalui perbuatan, ucapan maupun hal lainnya di lingkungan sekolah adakalanya merendahkan martabat perempuan.
Diskriminasi gender dalam dunia pendidikan bukan menjadi hal yang asing untuk didengar atau diketahui. Lebih parah lagi, sadar atau tidak hal tersebut dilakukan oleh guru. Tampak jauh dari esensi pendidikan yaitu untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Pemerintah pada mulanya sudah mengeluarkan suatu kebijakan tentang pedoman pelaksanaan pengarusutamaan gender bidang pendidikan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008 yang memerintahkan setiap satuan pendidikan yakni sekolah-sekolah untuk melaksanakan pengarusutamaan gender, artinya dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari termasuk sejak perancangan yang berkaitan dengan penganggaran sudah sepatutnya memperhatikan hal-hal yang sensitif terkait gender.
Mulai dari memperlakukan siapa saja baik itu laki-laki maupun perempuan dengan sama, tanpa merugikan salah satu, semuanya mesti dirancang dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada prinsipnya pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan menyasar seluruh warga sekolah, pembangunan sekolah, kurikulum sekolah, hingga praktik pembelajaran di sekolah. Faktanya, pendidikan berperspektif gender yang berkeadilan ternyata belum sepenuhnya terlaksana di ranah pendidikan Indonesia.
Atas dasar itulah, Tim Dosen PPKn Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya, yang terdiri atas: Dr. Oksiana Jatiningsih, M.Si., Maya Mustika Kartika Sari, S.Sos., M.I.P., Listyaningsih, S.Pd., M.Pd., Rahmanu Wijaya, S.H., M.H., serta dibantu oleh mahasiswa PPKn UNESA yaitu Nur Siami Fitriawati mengadakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dengan sasaran Bapak/Ibu Guru yang tergabung dalam MGMP PPKn SMA dan SMK di Kabupaten/Kota Blitar.
Kegiatan tersebut merupakan salah satu langkah akademis yang ditempuh untuk menekan angka kekerasan berbasis gender di sekolah.
Kegiatan berlangsung pada tanggal 8 Oktober hingga 6 November 2021. Meskipun dilaksanakan dengan blended model atau gabungan dari luring dan daring tidak menyurutkan semangat Bapak/Ibu Guru untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Dengan mengangkat tema “Penguatan Kompetensi Guru PPKn dalam Mengembangkan Pembelajaran Berperspektif Gender di MGMP PPKn Kabupaten/ Kota Blitar” susunan acara dikemas secara ringkas dalam sharing materi, dilanjutkan dengan penugasan secara mandiri, dan presentasi serta diskusi dalam kegiatan workshop pengembangan perangkat pembelajaran yang berperspektif gender.
Kegiatan ini dibuka secara online melalui zoom. Dalam sambutannya saat pembukaan acara, Saiful Anwar, S.Pd., selaku Ketua MGMP PPKn Kota Blitar menyebutkan bahwa beliau menyambut baik program penguatan materi yang diselenggarakan tim dosen PPKn UNESA, dengan harapan guru-guru PPKn di Blitar dapat memperoleh manfaat yang positif.
Mata pelajaran PPKn menjadi bagian penting dalam upaya penguatan nilai-nilai kesetaraan gender, membangun kehidupan yang demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa, siapapun baik laki-laki maupun perempuan harus dapat mengambil peran dan berpartisipasi secara aktif dalam seluruh proses pembangunan. Sebagai lembaga pendidikan sudah sepatutnya bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan berperspektif gender guna membangun kehidupan yang berkeadilan gender. (Nur Siami Fitriawati/Red)