PAMEKASAN, IN.ID : Satu bulan berlalu sejak regulasi presensi manual ke komputerisasi diberlakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Pamekasan. Sistem presensi Finger Print (FP) tersebut mengacu kepada surat edaran yang ditandatangani Plt. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pamekasan bernomor 800/06264/432.302/¬2016 tertanggal 27 Desember 2016 tentang perberlakuan presensi Finger Print (FP) bagi kepala sekolah, guru dan penjaga baik berstatus PNS ataupun honorer kategori 2 (GTT/PTT) di seluruh SD dan SMP Negeri yang ada di wilayah Kabupaten Pamekasan.
Penggunaan FP secara off line efektif pada 3 Januari 2017 dan akan on line paling lambat per 1 Juli 2017 (awal tahun pelajaran 2017/2018). Namun realita di lapangan masih ada ‘’kegamangan’’, apakah keputusan itu merupakan langkah tepat untuk memperbaiki mutu pendidikan di kota berjuluk gerbang salam ini ataukah hal tersebut sekedar keputusan prematur sekelompok pemangku jabatan sehingga harus dikaji secara mendalam dengan melibatkan berbagai pihak berkompeten?
Kegamangan para kepala sekolah, guru, dan penjaga serta honorer kategori 2 (GTT/PTT) terhadap pemberlakukan FP sangat beralasan karena print out data dari ‘’mesin presensi’’ itu setiap bulan akan menjadi pertimbangan terhadap penerimaan hak-hak individu mereka yang meliputi pemberian tunjangan profesi guru (TPG), pengajuan usulan kenaikan gaji berkala, pengajuan usul kenaikan pangkat, pemberian insentif GTT/PTT Kategori 2, dan penilaian kinerja PNS dan SKP setiap tahun.
Seberapa besar relevansi pemberlakuan FP dengan pemenuhan hak-hak kepala sekolah, guru, penjaga, dan honorer kategori 2 (GTT/PTT) terutama yang berkenaan dengan TPG dan atau tunjangan fungsional yang lain? Sudahkan para stakeholder di Dinas Pendidikan Kabupaten Pamekasan melakukan telaah terhadap efektivitas pemberlakuan FP untuk peningkatan mutu atau kualitas pendidikan? Dan sekian pertanyaan lanjutan yang bisa saja muncul untuk didiskusikan bersama agar diperoleh solusi terbaik demi kemajuan pendidikan, dan secara khusus demi menciptakan guru yang bermartabat sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen.
Eksistensi guru profesional sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 14 tahun 2005 adalah bidang “pekerjaan khusus’’ yang dilaksanakan berdasarkan panggilan jiwa dan idealisme, komitmen, kualifikasi akademik yang sesuai dengan bidangnya. Sebagai sebuah pekerjaan khusus, profesi seorang guru tidak hanya melibatkan aktivitas otak atau kemampuan intelegensi semata. Namu juga memerlukan kepekaan hati atau mata batin dari seorang yang menyandang gelar “pahlawan tanpa tanda jasa’’ ini karena yang dihadapi setiap hari di kelas adalah peserta didik yang nota bene seorang manusia dengan segala fitrahnya dan senantiasa berkembang sesuai dengan fase hidupnya. Apalagi dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 74 Tahun 2008 tentang Guru secara tegas dinyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Mengacu pada hakikat guru sebagaimana diamanatkan undang-undang di atas, seharusnya para stakeholder paham bahwa ‘’guru bukanlah mesin ataupun robot’’ sehingga pemenuhan terhadap hak-hak mereka –seperti TPG dan tunjangan fungsional yang lain sebagaimana tertuang dalam perundang-undangan–¬ tidak harus diatur atau didasarkan kepada ‘’mesin’’ sejenis FP. Belum lagi jika nanti print out presensi komputerisasinya digunakan sebagai prasyarat untuk pengajuan pangkat dan lain sebagainya.
Padahal beban kerja guru sebagai salah satu kriteria untuk menerima TPG adalah sekurang-kurangnya mengajar 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu untuk mata pelajaran yang diampu, sesuai dengan sertifikat pendidik yang dimiliki. Itupun masih ada pengecualian kepada mereka yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah, wakil kepala sekolah, kepala perpustakaan, dan lain-lain sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 17 Tahun 2016 point 9. Substansi Permendikbud Nomor 17 Tahun 2016 ini sekaligus menjadi dasar bagi seorang guru untuk menerima TPG tanpa harus dikaitkan lagi dengan beban kerja yang apabila diakumulasi setara dengan 37,5 jam perminggu.
Berbeda halnya dengan jabatan struktural yang bekerja di atas data dan kertas. Jika memang FP menjadi dasar pertimbangan pencairan TPG atau tunjuangan fungsional yang lain, maka kewajiban mengajar 24 jam tatap muka atau 40 jam tatap muka dengan sendirinya tidak lagi menjadi beban. Dengan kata lain, secara realita seorang guru meski dalam mengajar tidak sampai 24 jam tatap muka, yang penting dia masuk dan melaksanakan 6 hari kerja atau setara dengan 37,5 jam per minggu dan itu terukur dengan print out presensi FP, maka beban kerjanya terpenuhi dan berhak menerima TPG ataupun tunjangan lainnya. Hal ini menjadi urgen karena tidak sedikit guru-guru yang sudah bersertifikasi kesulitan memenuhi kewajiban 24 jam sehingga harus mengajar di sekolah lain. Bisa dibayangkan jika ‘’kelayakan’’ itu harus diukur dengan FP, lebih-lebih bagi GTT K2 yang memiliki ‘’jam terbang sangat tinggi’’ agar bisa loncat dari satu sekolah ke sekolah yang lain.
Kita bisa belajar dari kasus yang sudah terjadi, ada seorang guru datang terlambat 5 menit ke sekolah dan tidak bisa melakukan FP karena limit waktunya sudah tutup. Tapi guru tersebut langsung masuk kelas dan mengajar dengan penuh tanggung dan profesional. Sementara ada guru lain datang tidak terlambat dan langsung melakukan FP. Hanya saja yang bersangkutan tidak langsung mengajar dan masih duduk santai sambil melakukan aktivitas lain di luar pembelajaran. Manakah yang lebih profesional menurut anda…??? Belum lagi untuk para GTT K2 yang harus pontang-panting karena mengajar lebih dari satu sekolah hanya untuk mengejar FP saat masuk dan pulang. Barangkali tidak ada kendala ketika lokasi sekolah berdekatan, bayangkan kalau sekolahnya jaraknya jauh …???
Sebagai penutup, kebijakan penggunaan presensi melalui FP selayaknya perlu dikaji apabila print outnya akan dijadikan pertimbangan penerimaan TPG dan atau hak-hak lain bagi seorang PNS dan honorer kategori 2 (GTT/PTT) di bawah naungan Dinas Pendidikan Kabupaten Pamekasan. Lebih-lebih bagi honorer K2 yang hingga saat ini nasibnya belum jelas. Profesionalitas guru yang bermartabat tidak bisa diukur sepihak oleh mesin, tetapi lebih pada tumbuhnya kesadaran dan tingginya tanggung jawab setiap individu.
Kalaupun kinerja guru perlu dievaluasi, optimalkan eksistensi pengawas sekolah untuk melakukan monitoring secara berkala dan ajeg. Sementara kemampuan manajerial, profesionalitas, dan tanggung jawab kepala sekolah sebagai top leader di sebuah institusi menjadi ‘’energi’’ yang sangat siginifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan. Figur seorang kepala sekolah kalau diibaratkan ‘’driver atau sopir’’, maka driver yang profesional akan berusaha membawa kendaraan sebaik dan senyaman mungkin. Sedangkan pengawas sekolah menjadi ‘’kontrol di setiap halte’’ untuk memastikan apakah sopir atau penumpang mampu serta mumpuni menjalankan tugas dan amanah yang dibebankan secara profesional. Semoga …!!! (*)